Dampak Patofisiologi Alergi Terhadap Tubuh dan Cara Tepat Mengatasinya

  Kamis, 01 Agustus 2024 | 01:12 WIB
   TEAM PROSIX
dampak-patofisiologi-alergi-terhadap-tubuh-dan-cara-tepat-mengatasinya_WKq.jpg

Apa itu patofisiologi alergi? Patofisiologi alergi merupakan sebuah studi tentang perubahan fungsi fisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap paparan alergen yang memicu reaksi alergi. Ini mencakup mekanisme di mana alergen akan menyebabkan respons imun yang berlebihan, menghasilkan berbagai gejala klinis yang terkait dengan alergi. 

Kira-kira, apa dampak patofisiologi alergi terhadap tubuh, dan bagaimana cara tepat untuk mengatasinya?

Dampak Patofisiologi Alergi terhadap Tubuh

patofisiologi alergi

Perlu dipahami, alergi merupakan respons sistem kekebalan tubuh yang berlebihan terhadap zat yang biasanya tidak berbahaya, yang disebut alergen. Dampak patofisiologi alergi terhadap tubuh akan melibatkan berbagai mekanisme dan dapat memengaruhi banyak sistem tubuh. Berikut ini adalah penjelasan mengenai dampak tersebut:

1. Response Imunologis

Pada paparan awal terhadap alergen, tubuh tidak akan menunjukkan gejala alergi yang nyata, tapi sistem kekebalan mulai memproduksi antibodi imunoglobulin E (IgE) yang spesifik untuk alergen tersebut. IgE ini lalu akan menempel pada permukaan sel mast dan basofil, yang merupakan jenis sel darah putih.

Saat alergen yang sama masuk ke dalam tubuh kembali, maka alergen akan mengikat IgE yang ada di permukaan sel mast dan basofil, memicu pelepasan berbagai mediator kimia seperti histamin, leukotriene, dan prostaglandin.

2. Reaksi Inflamasi

Histamin akan menyebabkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) dan peningkatan permeabilitas kapiler, yang mengarah pada pembengkakan jaringan dan kemerahan. Selain itu juga akan merangsang ujung saraf yang menyebabkan gatal-gatal.

Kemudian, Leukotrien akan menyebabkan bronkokonstriksi (penyempitan saluran napas) dan peningkatan produksi lendir di saluran pernapasan, yang umum terjadi pada asma alergi. Sedangkan Prostaglandin akan berperan dalam meningkatkan respons inflamasi dan nyeri.

3. Dampak Sistemik

Dampak patofisiologi alergi berikutnya adalah urtikaria (hives) dan eksim (dermatitis atopik). Akan terjadi pembengkakan merah dan gatal di kulit, lalu peradangan kronis pada kulit yang menyebabkan gatal, kemerahan, serta kulit kering.

Pada sistem pernapasan, pembengkakan dan iritasi pada hidung yang menyebabkan bersin, hidung tersumbat, dan ingus. Selain itu, bronkokonstriksi dan inflamasi kronis pada saluran napas juga bisa terjadi, yang mengarah pada kesulitan bernapas, batuk, dan mengi.

Sedangkan pada sistem pencernaan, bisa terjadi mual, muntah, diare, dan sakit perut akibat reaksi terhadap alergen dalam makanan. Selain itu, reaksi alergi sistemik yang parah dan dapat mengancam nyawa juga bisa terjadi. Ini dapat ditandai dengan penurunan tekanan darah drastis, penyempitan saluran napas, dan gangguan fungsi organ yang memerlukan penanganan medis segera.

4. Dampak Jangka Panjang

Paparan alergen yang berulang akan menyebabkan inflamasi kronis pada jaringan yang terlibat, seperti saluran napas pada penderita asma atau kulit pada penderita eksim. Selain itu, infeksi bakteri atau jamur sekunder bisa terjadi pada area yang meradang atau teriritasi, terutama pada penderita eksim kronis.

5. Perubahan Jaringan

Pada kondisi seperti asma kronis, bisa juga terjadi perubahan struktural pada saluran napas yang memperburuk fungsi pernapasan dan membuat saluran napas lebih reaktif terhadap pemicu lainnya.

Cara Tepat Mengatasi Patofisiologi Alergi

patofisiologi alergi

Lalu, bagaimana cara yang tepat untuk mengatasi patofisiologi alergi? Mengatasi patofisiologi alergi tentunya memerlukan pendekatan yang komprehensif, melibatkan pencegahan paparan alergen, pengelolaan gejala melalui obat-obatan, serta upaya untuk memodulasi respons imun. Berikut ini adalah beberapa cara yang tepat untuk mengatasi patofisiologi alergi:

1. Pencegahan Paparan Alergen

  • Pertama, lakukan tes alergi (seperti tes kulit atau tes darah) untuk mengidentifikasi alergen spesifik yang memicu reaksi.

  • Tips berikutnya, hindari alergen di lingkungan, seperti debu, serbuk sari, bulu hewan, dan makanan tertentu. Sebaiknya gunakan penutup debu pada kasur dan bantal, dan sering membersihkan rumah untuk mengurangi tungau debu.

  • Untuk alergi makanan, sebaiknya hindari konsumsi makanan yang menyebabkan alergi.

2. Obat-obatan

  • Antihistamin bisa digunakan untuk menghambat efek histamin, membantu mengurangi gejala seperti gatal, bersin, dan hidung tersumbat. Contohnya adalah Cetirizine, Loratadine, atau lainnya.

  • Dekongestan dapat digunakan untuk mengurangi pembengkakan di saluran hidung, membantu meredakan hidung tersumbat. Contohnya adalah pseudoephedrine.

  • Kortikosteroid bisa digunakan untuk mengurangi inflamasi dan reaksi alergi pada berbagai bagian tubuh. Contohnya adalah fluticasone (semprot hidung), prednisolone (oral).

  • Stabilisator Sel Mast bisa digunakan untuk mencegah pelepasan mediator dari sel mast. Contohnya adalah cromolyn sodium.

  • Bronkodilator bisa digunakan untuk mengatasi bronkokonstriksi pada asma, membantu membuka saluran napas. Contohnya adalah albuterol.

3. Imunoterapi

  • Imunoterapi Subkutan (SCIT): proses ini melibatkan injeksi alergen dosis kecil yang meningkat secara bertahap untuk membangun toleransi tubuh terhadap alergen tersebut.

  • Imunoterapi Sublingual (SLIT): alergen akan ditempatkan di bawah lidah dalam bentuk tablet atau cairan, juga untuk meningkatkan toleransi.

Untuk pendekatan lain, krim atau salep kortikosteroid juga bisa digunakan untuk mengatasi gejala kulit seperti eksim. Selain itu, edukasi tentang cara menghindari alergen dan mengelola gejala juga sangat penting. Penderita alergi harus memahami tanda-tanda awal reaksi alergi dan cara penanganannya.

Nah, sekarang sudah tahu kan apa itu patofisiologi alergi, dampaknya bagi tubuh, hingga cara tepat untuk mengatasinya? Jadi, saat mengalami gejala alergi, sebaiknya kamu tidak perlu buru-buru panik. Pastikan untuk mengambil langkah yang tepat untuk mengatasi alergi dan jangan ragu untuk konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

Sumber gambar: Freepik