Kamu tentu tidak asing dengan obat antibiotik, baik orang sekitar atau kamu sendiri yang pernah mendapatkannya setelah memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.Roland Solensky (2023)¹dalam datanya menyebutkan terdapat sekitar 10% orang yang melaporkan memiliki reaksi tidak normal setelah terpapar oleh zat antibiotik. Alergi obat antibiotik memang bukan kasus baru dan reaksi yang muncul sangat beragam. Mari memahami lebih lanjut soal alergi obat antibiotik dan cara mengatasinya.
Antibiotik sendiri merupakan obat yang hadir dalam berbagai bentuk dan digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi. Meski umum ditemui dalam bentuk tablet dan kapsul, kandungan antibiotik juga bisa hadir dalam bentuk salep, sirup, dan obat suntik. Beberapa jenis antibiotik yang umum diresepkan adalah Amoxicillin, Ampicillin, Penicillin, dan lain-lain.
Alergi antibiotik berarti munculnya reaksi alergi setelah mengonsumsi obat yang memiliki kandungan antibiotik. Tubuh dengan sistem imun yang tidak normal akan menganggap zat antibiotik sebagai ancaman sehingga memicu reaksi alergi. Beberapa reaksi yang muncul hampir sama dengan jenis alergi lain, yaitu biduran, ruam, hingga pembengkakan, demam, dan gangguan pernapasan. Sayangnya, seseorang perlu menjalani rangkaian tes alergi untuk memastikan dirinya memang memiliki alergi terhadap antibiotik.
Dalam banyak kasus yang ditemui, seseorang yang menunjukkan reaksi gangguan kesehatan setelah minum antibiotik belum tentu alergi terhadap antibiotik. Istilah medis untuk hal ini adalahnonallergic adverse reactions,yang umumnya ditandai dengan sakit perut dan diare. Ketika diagnosis alergi antibiotik ditentukan tanpa adanya tes, seseorang dapat menjauhi segala bentuk zat antibiotik tanpa dibutuhkan. Hal ini justru bisa menyebabkan resistensi antibiotik dan proses menyembuhkan penyakit yang jauh lebih lama. Itulah kenapa keluhan yang dialami setelah minum antibiotik perlu didata secara rinci dan dilakukan pengetesan menyeluruh.
ASCIA (2022)² menjelaskan beberapa bentuk reaksi alergi terhadap antibiotik dari yang paling ringan hingga yang membutuhkan penanganan oleh tim medis sesegera mungkin. Reaksi alergi ini bisa terjadi dalam dua kategori, langsung dan tidak langsung. Reaksi alergi langsung adalah saat keluhan dirasakan pada 1-6 jam setelah terpapar, sedangkan reaksi tidak langsung biasanya berlangsung 24 jam setelah terpapar obat antibiotik. Berikut ini detail mengenai reaksi yang dimaksud.
Kulit yang mengalami ruam, gatal, biduran, dan pembengkakan di beberapa bagian merupakan gejala ringan yang dialami seseorang. Pada kategori reaksi tidak langsung, ruam juga disertai dengan demam yang mirip dengan demam sebelum flu. Namun kamu perlu hati-hati jika demam tinggi berlangsung secara tidak normal.
Seperti reaksi alergi pada umumnya, alergi antibiotik parah bisa menyebabkan anafilaksis atau syok berat yang menyebabkan gangguan pernapasan dan tekanan darah. Anafilaksis bisa mengancam keselamatan jiwa sehingga harus segera dilakukan penanganan oleh dokter saat ini terjadi. Gejala berat ini umumnya saat seseorang mendapat antibiotik dari suntikan, bukan dari konsumsi oral.
Apabila kamu memiliki kecenderungan merasakan gejala alergi antibiotik, sebaiknya hentikan pengobatan segera. Mengonsumsiobat antihistaminadalah pertolongan pertama untuk menurunkan gejala dari reaksi alergi yang muncul. Bila gejalanya berat, umumnya suntik epinefrin diberikan untuk mencegah anafilaksis semakin parah. Namun kamu perlu segera melakukan tes alergi oleh dokter untuk analisis dan diagnosis yang akurat.
Selain diagnosis yang tepat, kamu juga akan diarahkan untuk melakukan proses rekam medis setelah terbukti memiliki alergi antibiotik. Hal ini nantinya akan mencegah fasilitas kesehatan lain meresepkan obat dengan kandungan antibiotik untuk kamu di masa yang akan datang. Tindakan kesehatan seperti terapi alergi juga disarankan agar tubuh tidak menunjukkan reaksi alergi parah di kemudian hari.
Referensi: